RKUHAP 2025: Upaya Sistematis Menutup Ruang Kontrol Sosial Terhadap Sistem Peradilan?
Labulianews.id (18/4/2025) Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 kembali memicu kontroversi. Pasal 253 ayat 3 draf RKUHAP yang melarang peliputan langsung sidang pengadilan dianggap sebagai bentuk nyata kemunduran demokrasi dan kebebasan pers.
Ketua Presidium Forum Pers Independent Indonesia (FPII), Kasihhati, menyatakan penolakan tegas terhadap pasal ini. Menurutnya, ruang sidang adalah ruang publik yang seharusnya terbuka untuk kontrol sosial. "Mengapa publik tak boleh tahu secara langsung?" tanya Kasihhati.
Kasihhati menilai bahwa pelarangan liputan langsung sidang akan membuka jalan bagi praktek gelap di ruang tertutup, tanpa saksi, tanpa kamera, dan tanpa pertanggungjawaban publik. Ini akan memungkinkan mafia peradilan tumbuh subur.
Kasihhati juga menilai bahwa proses penyusunan RKUHAP tidak transparan dan minim partisipasi. "Ini bukan ketidaktahuan. Ini adalah sikap sadar: DPR dan pembentuk undang-undang sedang membentengi kekuasaan dari pengawasan publik," ungkapnya.
Pasal 253 ayat 3 RKUHAP juga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan Pasal 28F UUD 1945. FPII menyatakan sikap tegas untuk menolak pasal ini dan menuntut penghapusan pasal tersebut.
FPII juga menyatakan siap melakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi jika RKUHAP disahkan dalam bentuk sekarang. "Kita tidak boleh diam. Karena kalau hari ini jurnalis dilarang meliput, besok rakyat bisa dilarang bicara," pungkas Kasihhati.