Prosesi Menjelang Acara Tradisi Perang Timbung
Labulianews.com. Berbagai rangkaian prosesi jelang pelaksanaan tradisi perang timbung di kemalik Serewa Pejanggik Lombok tengah yang diadakan jum'at ( 25/08/23 ) sudah mulai dijalankan. Salah satunya yakni pengambilan air suci dan pembuatan timbung.
Usut punya usut, ternyata pengambilan air suci untuk pelaksanaan perang timbung tidak sembarangan dan sangat sakral, serta sarat makna dan filosofi yang melukiskan asal mula kejadian manusia.
Yakub Hamdani, mangku Desa Pejanggik menuturkan, sumber air suci berasal dari lingkok siwak. Dikatakan air suci karena dimaknai sebagai sumber kehidupan.
" Setelah air diambil dari lingkok siwak, barulah dibawa naik ke Bale Beleq Pejanggik," kata Yakub.
Setiba di Bale Beleq, dilakukan tawaf sambil membawa air sebanyak 7 putaran. Menggambarkan sebuah perjalanan penciptaan manusia. Mulai sewaktu masih menjadi air dirahim amaq ( Bapak ) lalu mengalir ke rahim inaq ( ibu ) sampai terlahir kedunia dalam wujud manusia sempurna yang disimbolkan pada pendirian Bale Beleq ( Menunjuk raga sebagai wadah bermukim ruh atau hidup atau air ).
Lalu, kenapa harus memakai pakaian hitam. Melambangkan proses kejadian dalam ruang gelap atau alam rahim inaq.
" Bisa juga pakai putih mensimbolkan kesucian," imbuhnya.
Lalu, pembuatan timbung berbahan bambu, santan, beras ketan atau reket putih, dan nyiur atau kelapa dijadikan sebuah sarana pengingat tradisi leluhur. Tereng diartikan teringet pengadek ngadek tradisi peninggalan Nenek moyang atau asal mula kejadian.
Nyiur atau kelapa melambangkan pikiran, santan berarti santun atau jernih seperti warnanya yang putih, diisi dengan ketan putih atau reket supaya berkat.
Sehingga kesemua syarat pelaksanaan perang timbung yaitu pengambilan air suci dan pembuatan timbung jika dipadukan dapat dimaknai sebagai sebuah ritual untuk mengingat asal muasal kejadian manusia dari generasi ke generasi yang direnungkan atau dihayati dengan pikiran yang jernih supaya kehidupan menjadi berkat atau berkah.
" Air suci diinapkan semalam pada malam jum'at di Bale Beleq, barulah dibawa ke kemalik serewe setelah sholat jum'at yang akan dipergunakan untuk membasuh muka dengan niat memperoleh berkat," tandasnya.
Adapun pada sejarahnya, diadakan perang timbung itu, sebagai wujud rasa syukur suka cita atas kelahiran putra Datu Pejanggik. Maka digelar juga persembahan hasil bumi dan makan bersama.
Setelah itu, bagi para muda-mudi yang sudah dewasa. Perang timbung dilakukan secara saling membelakangi antara laki-laki dan perempuan. Lalu timbung dilempar ke belakang. Jika timbung mengenai badan pasangan perangnya, maka berjodoh lah. #Bersambung ( KJLT )