Satu Abad NU: Pondok Pesantren Nurul Madinah Mengadakan Halaqah Nasional Fiqh Peradaban
Labulianews.com. Pondok Pesantren (Pontren) Bumi Shalawat Nurul Madinah Kuripan Utara Lombok Barat. menggelar Halaqah Nasional Fiqh Peradaban dengan tema "Hak Hak Minoritas Dalam Perspektif Fiqh Islam" (6/11)
Halaqah Nasional tersebut berlangsung di Pontren Nurul Madinah, Pelulan Desa Kuripan Utara Kec. Kuripan Kab. Lombok Barat, NTB pada Ahad 6 November 2022.
Pimpinan Pontren Nurul Madinah, Buya Subki Sasaki dalam sambutannya menyampaikan bahwa Halaqah Nasional tersebut merupakan program Kementrian Agama RI dan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU),
"Halaqah Nasional Fiqh Peradaban ini diikuti oleh 70 Tuan Guru dan Asatiz se Lombok dari berbagai Alumni Pesantren dan Ormas Islam, bahkan Non Muslim juga kita undang ", ungkapnya
Lanjutnya, adapun yang menjadi narasumber dalam Halaqah Nasional itu adalah :
1. Dr. K.H. Rumadi Ahmad, M.A. ( Stafsus wapres bidang toleransi dan kerukunan , Ketua Lakpesdam PBNU)
2. Dr. K.H. Abdul Moqsith Ghazali, M.A. (Pakar hubungan antar agama, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
3. Prof. Dr. Hj. Atun Wardatun (Guru besar dalam bidang hukum Islam UIN Mataram.
4. Prof. Dr. Abdul Wahid ( Pakar Antropolgi Agama UIN Mataram )
Dalam acara tersebut Prof. Abdul Wahid dan Prof Atun Wardatun menyampaikan bahwa Islam bukan agama yang stagnan dan anti terhadap pembaruan. Hal tersebut dapat dilihat dari ajaran Islam yang Responsif terhadap perkembangan zaman.
Dr. Rumadi Ahmad dari Staf khusus Wapres dalam hal toleransi menyatakan bahwa Islam dihadirkan Tuhan sebagai jalan hidup (way of life) yang selalu berdialog dengan ruang dan waktu. Islam mengakomodir pembaruan dan inovasi dalam pemikiran keagamaan. Namun demikian, tidak semua Muslim memiliki pandangan yang sama.
Ketua PWNU yang diwakili oleh Dr.Jumarim dalam sambutannya menyindir ada komunitas Muslim yang merasa tidak nyaman dengan pelbagai upaya pembaruan dalam Islam dengan alasan Bid’ah, bahkan pembaruan tersebut dianggap sesat.
Sementara itu Cendikiawan Muda NU Dr.KH. Abdul Muqsit Gazali dengan gaya khasnya yang memantik dan unik, dalam Metodologi Usul Fikih " Muslim tidak boleh menolak rangsangan rangsangan pemikiran-pemikiran inovatif , kekinian dan berkemajuan. Hukum fikih tidak boleh stagnan karena fikih bukan saja tentang teks namun juga tentang konteks. Di antara cabang disiplin ilmu fikih yang sangat urgen untuk dikuatkan saat ini adalah gagasan-gagasan untuk membentuk dasar-dasar fikih minoritas Muslim (fiqh al-aqaliyyât) di seluruh dunia " paparnya.
Secara konseptual fikih minoritas sejatinya bukan model fikih yang benar-benar baru dan terpisah dari fikih tradisional. Fikih minoritas hanyalah satu cabang dari disiplin ilmu fikih yang luas dalam Islam,
Ia juga menggunakan anasir anasir usul fikih yang hampir sama dengan fikih lainya, karena ia merujuk pada sumber yang sama, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Fikih Aqalliyat adalah fikih Muamalah bukan Fikih Ibadah. Di antara isu-isu yang memantik urgensi penguatan fikih minoritas adalah:
1.Secara umum, tidak dapat dipungkiri bahwa negara belum benar-benar hadir untuk melindungi kelompok minoritas. Aturan, undang-undang, dan peraturan yang dibuat negara belum sepenuhnya mengakomodir hak-hak kelompok minoritas. Misalnya, pendirian rumah ibadah bagi komunitas minoritas beragama masih sulit dilakukan.
2, Konsep minoritas dalam perspektif Indonesia belum jelas karena selama ini minoritas hanya dipersepsikan sebagai kelompok minoritas dalam beragama dan kuwantitas.
3. Hak-hak minoritas dan mayoritas yang belum dipertegas baik dari sisi persamaan dan perbedaannya; 4. Perlunya peninjauan kembali hak-hak minoritas dalam perspektif Negara.
5. Perlunya mempertegas hak hak minoritas dalam perspektif fikih Islam.
Ditambahkan, Buya Subki Sasaki, bahwa Ia menyampaikan beberapa harapan sebagai hasil dari acara Halaqah Nasional itu diantaranya;
1. Merumuskan kepastian hukum formil dan hukum fikih Islam terkait hak-hak minoritas;
2. Merumuskan hak-hak minoritas yang terhalangi dalam kehidupan beragama dan berbangsa;
3. Merumuskan prosedur atau tata cara masyarakat minoritas melakukan somasi kepada negara terkait hak-hak mereka di NKRI; (red)